Kesalahan Sering Terjadi, DBD Awalnya Didiagnosis Tifus

Silakan di simak dengan seksama ya :

Kesalahan Sering Terjadi, DBD Awalnya Didiagnosis Tifus

Jangan Obati Hasil Laboratorium, Positif Palsu Tifus Pada Infeksi Virus dan DBD. Dua Diagnosis Dalam Kejadian Infeksi Sering Tidak Benar

Seringkali seorang pasien didiagnosis Tifus dan diobati sebagai penyakit tifus padahal dia hanya menderita penyakit infeksi virus saluran napas biasa atau bahkan dia mengalami penyakit DBD atau infeksi dengue lainnya. Hal ini terjadi bila seorang dokter mengobati dan menangani penyakit hanya berdasarkan hasil laboratorium tidak melihat latar belakang perjalanan penyakit dan pemriksaan fisik yang cermat. Hal ini harus dicermat karena pemeriksaan IgG Tifus atau widal sangat sensitif sering menimbulkan interpretasi false positif artinya tidak mengalami penyakit tifus tetapi hasil laboratorium petanda tifus meningkat. Bila hal ini dilakukan maka tindakan dalam penanganan penyakit disebut “mengobati hasil laboratorium” bukan mengobati penyakitnya. Hal ini juga mengakibatkan kejadian mengapa seorang anak atau penderita dewasa divonis penyakit Tifus 2-4 kali dalam setahun padahal penderita merasa tidak pernah jajan dan sudah menjaga kebersihan secara baik.
Penyakit Tifus, Infeksi Virus Saluran Napas, DBD atau infeksi dengue lainnya bila tidak cermat seringkali sulit dibedakan. DBD adalah penyakit infeksi yang demikian ganas. Bila terlambat ditangani, dalam beberapa hari bahkan dalam hitungan jam kondisi anak bisa masuk dalam keadaan kritis.  Adakalanya seorang penderita DBD terlambat dalam penegakan diagnosis. Saat hari pertama demam didiagnosis dokter sebagai infeksi tenggorokan, kemudian hari berikutnya berubah diagnosisnya menjadi penyakit campak. Saat hari ke 3, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium ditambah diagnosis gejala tifus. Baru saat hari ke 4 dan ke 5 keadaan memburuk dan meninggal, ternyata diagnosis penyebab kematiannya adalah DBD. Hal ini seringkali terjadi karena pemeriksaan widal untuk mengidentifikasi penyakit Tifus seringkali sangat sensitif, sehingga pada penderita DBD meski tidak mengalami penyakit tifus hasilnya widal positif tinggi.

demam dbd dan typus

Infeksi Virus Saluran napas

Infeksi virus khusnya infeksi saluran napas juga dikenal sebagai nasopharyngitis, rhinopharyngitis, coryza akut atau pilek adalah virus penyakit menular dari atas sistem pernapasan yang mempengaruhi terutama hidung dan mata. Pada virus tertentu dan daya tahan tubuh lagi menurun biasanya bisa terjadi demam yang tinggi. Gejala-gejala lain yang terjadi biasanya berupa batuk , sakit tenggorokan , pilek , dan demam yang biasanya akan membaik dalam 5-7 hari.  Lebih dari 200 virus yang terlibat dalam penyebab flu biasa, yang rhinoviruses adalah yang paling umum. Gejala khas adalah batuk , pilek , hidung tersumbat dan sakit tenggorokan , kadang disertai sakit otot , kelelahan , sakit kepala , dan kehilangan nafsu makan .  Sakit tenggorokan hadir dalam sekitar 40% kasus dan batuk pada sekitar 50%, ementara sakit otot terjadi pada sebagian besar penderita. Pada orang dewasa dan anak tertentu, biasanya tidak disertai demam haynya terasa meriang atau sumer Bila dikur suhu normal. Tetapi orang dan anak lainya dengan daya tahan tubuh rendah bisa terjadi demam tinggi. Batuk biasanya ringan dibandingkan dengan yang menyertai influenza. Batuk dan demam menunjukkan kemungkinan lebih tinggi dari influenza pada orang dewasa, ada banyak kesamaan antara dua kondisi. Sejumlah virus yang menyebabkan flu biasa juga dapat mengakibatkan dalam infeksi tanpa gejala . Warna dahak atau sekresi hidung dapat bervariasi mulai dari jernih, kuning ke hijau dan tidak dapat mempresentasikan atau memprediksi penyebab virus tertentu.

Demam Berdarah Dengue

Virus dengue penyebab DBD termasuk famili Flaviviridae, yang berukuran kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Manifestasi klinisnya ditandai gejala-gejala klinik berupa demam, nyeri pada seluruh tubuh, ruam dan perdarahan. Demam yang terjadi pada infeksi ini timbulnya mendadak, tinggi (dapat mencapai 39-40 derajat Celcius) dan dapat disertai dengan menggigil. Pada saat anak mulai panas ini biasanya sudah tidak mau bermain. Demam ini hanya berlangsung sekitar lima hari. Pada saat demamnya berakhir, sering kali dalam bentuk turun mendadak dan disertai dengan berkeringat banyak. Saat itu anak tampak agak loyo. Kadang-kadang dikenal istilah demam biphasik, yaitu demam yang berlangsung selama beberapa hari itu sempat turun di tengahnya menjadi normal kemudian naik lagi dan baru turun lagi saat penderita sembuh (gambaran kurva panas sebagai punggung unta). Kadang-kadang ruam tersebut hanya timbul pada daerah tangan atau kaki saja sehingga memberi bentuk spesifik seperti kaos tangan dan kaki. Manifestasi klinis lainya adalah sakit kepala, nyeri perut, mual, muntah, kadang disertai diare atau sulit BAB. Gejala lain yang menyertai adalah perfarahan di kulit, hidung atau saluran cerna.

Demam Dengue

Penyakit DBD adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia. Manifestasi klinis dari infeksi virus dengue dapat berupa “Demam Dengue(DD)” atau “Demam Berdarah Dengue (DBD)”. Demam Dengue tidak membahayakan atau tidak mengancam jiwa seperti DBD. Biasanya kasus seperti ini sering diistilahkan masyarakat awam sebagai gejala demam berdarah. Sebenarnya dalam penanganannya tidak perlu dirawat di rumah sakit. Demam Dengue tidak akan berubah menjadi DBD. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa bila penanganan tidak baik dan terlambat mengakibatkan Demam Dengue akan menjadi DBD adalah tidak benar. Gejala klinis DBD dan Demam Dengue hampir sama, yaitu panas tinggi, perdarahan, trombosit menurun dan pemeriksaan serologi IgG atau IgM positif. Pada DBDanak sangat lemas sekali sampai seharian tidur terus tidak bisa bangun, sedangkan pada penderita Demam Dengue meski lemas tapi masih bisa berjalan. Pada DBD trombosit yang menurun sangat drastis hingga kurang dari 90.000, sedangkan pada penderita Demam Dengue trombosit hanya turun diantara 100.00 – 175.000. Pada DBD terjadi kebocoran cairan plasma sehingga hasil hematokrit atau kekentalan darah meningkat tiga kali lipat diatas 40%, sedangkan pada penderita Demam Dengue dalam batas normal di bawah 40%. Pada penderita DBD perdarahan yang terjadi lebih berat dan dapat disertai sesak napas karena adanya cairan di rongga paru (efusi pleura)

Demam Tifus

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler. Gejala tifus tidak khas seringkali mirip penyakit lainnya. Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti IgG tifus, uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEXâ, Typhidot-Mâ dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia.

SERING SALAH INTERPRETASI HASIL LABORATORIUM

Demam tifus adalah penyakit yang sering dikelirukan dengan DBD. Seringkali seseorang didiagnosis DBD bersamaan dengan penyakit tifus. Penyebab “pitfall” atau kekeliruan tersebut adalah kerancuan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan Widal atau uji laboratorium untuk mendiagnosis demam tifus. Ternyata seringkali pada penderita hasil pemeriksaan widal juga meningkat, padahal belum tentu mengalami infeksi tifus. Pemeriksaan widal adalah mendeteksi antibodi atau kekebalan tubuh terhadap tifus, bukan mendeteksi adanya kuman atau berat ringannya penyakit tifus. Pada penyakit tifus pemeriksaan widal biasanya meningkat saat minggu ke dua. Bila saat minggu pertama hasil pemeriksaan widal tinggi maka mungkin harus dicurigai adanya “false positif”, atau kesalahan hasil positif yang diakibatkan faktor lain. Ternyata pada pada beberapa penelitian pendahuluan ddidapatkan beberapa penyakit infeksi virus atau infeksi DBD, dapat meningkatkan reaksi tes widal. Manifestasi ini sering terjadi pada penderita hipersensitif atau penderita yang sering mengalami riwayat alergi.
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau gejala saluran cerna seperti nyeri mual, muntah, diare dan sulit BAB.Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Perbedaan sederhan dan mudah dilihat  adalah pola kenaikkan demamnya. Pada infeksi virus atau DBD seringkali demam mendadak tinggi dalam 2 hari awal dan akan menurun pada hari ke 3-5. Sedangkan sebaliknya pada demam tifus, demam akan semakin meningkat sangat tinggi setelah hari ke 3-5.
Berbagai pengalaman dan manifestasi klinis penyakit yang menyerupai DBD tersebut menjadi pelajaran terbaik bagi para klinisi dan masyarakat. Kecermatan dan ketelitian sangat diperlukan dalam mencurigai penyakit yang mirip DBD.
Manifestasi klinis yang khas pada DBD adalah memperhatikan secara cermat pola demamnya. Pola demam DBD saat hari pertama dan kedua demam sangat tinggi, hari ketiga turun disusul hari ke 4-5 demam naik tetapi tidak setinggi.awal demam. Gejala lain yang khas adalah saat hari ke 3-5 penderita tampak lemas, loyo, digendong terus, tidak mau bermain  atau berbaring dan tidur sepanjang hari.
Hal paling penting untuk membedakannya adalah adanya pemeriksaan darah yang menunjukkan trombosit menurun (trombositopenia) dan hematokrit (PCV/HCT) yang meningkat (hemokonsentrasi). Tetapi repotnya, perubahan hasil laboratorium tersebut hanya terjadi setelah hari ketiga fase demam. Sebaiknya dalam pemeriksaan darah dilakukan saat hari ke 3, pada hari pertama dan kedua hasil normal tidak menyingkirkan adanya DBD. Pemeriksaan widal (untuk mendiagnosis tifus) sebaiknya dilakukan saat awal minggu kedua. Saat demam minggu pertama bila curiga demam tifus dapat digunakan IgM Tifoid. Meskipun spesifitas dan sensitifitas pemeriksaan ini juga belumlah terlalu baik.

WASPADAI TES WIDAL YANG SERING MENGACAUKAN

  • Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus atau infeksi DBD yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu pertama meski anak tidak mengalami penyakit tifus.
  • Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
  • Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
  • Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.
  • Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi. Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik.
  • Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
  • Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.

PERBEDAAN DEMAM TIFUS DAN DEMAM KARENA INFEKSI VIRUS DAN DBD

Demam tifus atau karena bakteri bila tidak cermat sulit dibedakan, tetapi kalau melihat pola demam relatif mudah dibedakan
  • DEMAM KARENA VIRUS atau DBD  : 1-2 HARI AWAL MENDADAK SANGAT TINGGI, KEMUDIAN PADA HARI KETIGA TURUN, HARI KE 4-5 NAIK TAPI TIDAK SETINGGI HARI 1-2 (POLA PENURUNAN ANAK TANGGA , DBD POLA PELANA KUDA)
  • DEMAM KARENA TIFUS : DEMAM AWALNYA TIDAK TERLALU TINGGI, TETAPI HARI BERIKUTNYA SEMAKIN TINGGI DAN SEMAKIN TINGGI (POLA KENAIKKAN ANAK TANGGA)
SIGN IMMITATOR :
Gejala tifus juga mirip beberapa penyakit lainnya, beberapa gejala yang sering mengecoh sehingga membuat overdiagnosis tifus sering terjadi. BEBERAPA GEJALA DAN TANDA UMUM YANG BUKAN HANYA ADA PENYAKIT TIFUS :
  • LIDAH KOTOR, pada anak dengan sensitif saluran cerna ATAU GANGGUAN FUNGSI SALURAN CERNA (PENDERITA ALERGI/GER yang sebelumnya dalam keadaan sehatpun juga sering mengalami gangguan lidah putih dan kotor) ternyata bila demam juga menimbulkan gangguan warna putih pada lidah, hanya saja pada tifus lidah putih sangat tebal dengan tepi kemerahan
GANGGUAN PENCERNAAN :
  • NYERI PERUT, MUNTAH, DIARE, SULIT BAB. Pada anak dengan sebelumnya punya riwayat sensitif saluran cerna atau gangguan fungsi saluran cerna (alergi, GER, nyeri perut berulang, konstipasi berulang dll) Ternyata pada saat demam gangguan saluran cerna ini juga seringkali timbul
  • DEMAM MALAM HARI, pada anak tertentu ternyata juga mempunyai pola demam terjadi pada malam hari bila terkena infeksi. Hal ini sering terjadi pada penderita alergi. Mungkin karena pengaruh hormon sirkadial, hal ini juga yang menjelkaskan kenapa gejala alergi lebih berat pada malam hari
KONDISI DAN KEADAAN YANG HARUS DIWASPADAI PADA PENDERITA YANG SERING MENGALAMI ”OVER DIAGNOSIS TIFUS”
Terdapat beberapa kondisi dan keadaan yang harus diwaspadai pada penderita penderita yang telah divonis tifus yang dapat berakibat ”over diagnosis tifus”. Dalam penelitian tersebut di atas terdapat beberapa karakteristik penderita yang sering mengalami ”overdiagnosis tifus”, diantaranya adalah :
  • Hasil pemeriksaan widal yang sangat tinggi pada hari ke 3-5 saat demam.
  • Dalam lingkungan satu rumah terdapat penderita demam tinggi dalam waktu yang hampir bersamaan (dalam waktu kurang dari 3-5 hari).
  • Penderita divonis ”gejala tifus” atau ”tifus ringan”
  • Demam disertai gejala batuk dan pilek pada awal penyakit hari ke 2-5 . Pada penderita tifus gejala batuk atau bronkitis terjadi pada minggu ke dua
  • Penderita yang sering mengalami infeksi berulang (sering demam, batuk dan pilek)
  • Penderita alergi (batuk lama, pilek lama, sinusitis, asma) yang disertai GER (gastrooesephageal refluks) atau sering muntah.
  • Penderita tifus berulang atau penderita yang divonis tifus lebih dari sekali
  • Peningkatan nilai widal H, (widal H bukan merupakan petanda infeksi tifus)
  • Penderita demam berdarah
  • Penderita berusia kurang dari 2 tahun
Bila penderita mengalami hal tersebut maka sebaiknya harus cermat dalam menerima diagnosis tifus. Penyakit demam yang disebabkan karena infeksi virus atau DBD disertai kondisi tersebut di atas sering mengalami terjadi peningkatan nilai widal, padahal tidak mengalami infeksi tifus. Diagnosis tifus ditegakkan bukan hanya berdasarkan hasil laboratorium tetapi harus mengamati perjalan penyakit dan manifestasi klinis secara cermat. Tidak harus dengan cara mengobati hasil laboratorium tanpa memperhatikan tanda klinis

BAGAIMANA MENYIKAPINYA

  • Mengingat akurasi pemeriksaan widal tidak tinggi dan sering mengakibatkan bias dengan penyakit lainnya maka masyarakat dan klinisi harus cermat dalam menyikapinya. Dalam penegakaan diagnosis demam tifus diperlukan data yang lengkap dan jelas meliputi riwayat perjalanan penyakit, tanda dan gejala klinis serta hasilmpemeriksaan laboratorium. Selanjutnya untuk memastikan diagnosis kerja diperlukan interpretasi klinis yang cermat dan mendalam dianatara ketiga faktor tersebut. Bukan sekedar mengandalkan hasil laboratorium tanpa memperhatikan kondisi klinis penderita.
  • Mengingat seringnya kerancuan yang diakibatkan oleh pemeriksaan widal, maka sebaiknya pemeriksan widal dilakukan pada penderita saat minggu ke dua demam bukan saat minggu pertama. Penting harus diketahui bahwa tinggi rendahnya nilai widal bukan merupakan ganbaran berat ringannya penyakit tifus.
  • Dokter sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam masalah “overdiagnosis” ini sebaiknya harus lebih mawas diri. Berbagai tindakan medis yang dilakukan harus berdasarkan kemampuan profesional khususnya dalam menginterpretasi hasil laboratorium. Kepentingan kesehatan penderita harus diutamakan di atas segalanya. Tindakan medis dilakukan bukan karena pertimbangan kepentingan lainnya. Pendidikan dokter berkelanjutan dan komunikasi dengan pakar tampaknya merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan profesionalitas dokter khususnya dalam mengurangi kesenjangan pemahaman klinis yang sering terjadi.
  • Orangtua penderita sebagai penerima layanan medis berhak mengetahui informasi penyakit penderita secara lengkap dan jelas. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam masalah ini dapat mengurangi kejadian ”overdiagnosis tifus yang masih banyak terjadi. Bila dalam keadaan seperti di atas penderita masih divonis demam tifus perlu mendiskusikan dengan baik dan menanyakan lebih jauh terhadap dokter yang merawat.
  • Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan widal seminggu kemudian, bila terjadi peningkatan nilai widal sebanyak 4 kali menunjukkan konfirmasi diagnosis. Bila menurun, tetap atau peningkatan tidak terlalu tinggi dibandingkan nilai widal sebelumnya maka diagnosis tifus patut diragukan. Kalau perlu diusulkan untuk melakukan pemeriksaan kultur darah gall untuk memastikan diagnosis tifus. Bila masih meragukan terutama penderita yang berulangkali divonis tifus sebaiknya melakukan “second opinion” atau pendapat kedua dengan dokter lainnya
  • Jangan Obati Hasil Laboratorium, Hasil laboratorium Positif Palsu Tifus sering terjadi pada Infeksi Virus Saluran Napas, DBD atau infeksi dengue lainnya
sumber : infodemam.com

Subscribe to receive free email updates: